A.
Prinsip
Layanan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak anak berkebutuhan khusus
adalah anak anak yang memiliki keunikan tersendiri dalamjenis dan karakteristiknya yang
membedakan mereka dari anak anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang
menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan.
Keragaman yang terjadi memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang
sesuai. Namun, apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai
cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.
Prinsip dasar
Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Beberapa prinsip dasar dalam
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya yang perlu
diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Prinsip dasar tersebut menurut
Musjafak Assjari (1995) adalah sebagai berikut :
a. Keseluruhan
anak (all the children)
Layanan
pendidikan pada anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada pemberian
kesempatan bagi seluruh anak berkebutuhan khusus dari berbagai derajat ragam
dan bentuk kecacatan yang ada. Dengan
layanan pendidikan diharapkan anak dapat mengembangkan potensi anak yang
dimilkinya seoptimal mungkin sehingga ia dapat mencapai hidup bahagia sesuai
dengan kecacatanya.
Konsekuensi
dari ini , guru seyogyanya bersifat kreatif. Guru dituntut mencari berbagai
pendekatan pembelajaran yang cocok bagi anak. Pendekatan tersebut disesuaikan
dengan keunikan dan karakteristik dari masing-masing kecacatan.
b. Kenyataan
(reality)
Pengungkapan
tentang kemampuan fisik dan psikologis pada masing-masing anak berkebutuhan
khusus mutlak dilakukan. Hal ini penting, mengingat melalui tahapan tersebut
pelaksanaan pendidikan maupun pelaksanaan rehabilitasi dapat memberikan layanan
yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing anak berkebutuhan
khusus.
c. Program
yang dinamis (a dynamic program)
Pendidikan
dikatakan dinamis karena yang menjadi subyek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh dan
berkembang, yang didalamnya terdapat proses yang bergradasi, berkesinambungan
untuk mencapai sasaran pendidikan. Dinamika dalam proses pendidikan terjadi
karena subyeknya selalu berkembang dan adanya perkembangan ilmu pengetahuan .
kedua kenyataan ini menuntut guru untuk mengkaji teori-teori pendidikan yang
berkembang setiap saat.
d. Kesempatan
yang sama (equality of opportunity)
Pada
dasarnya anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk
mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis jenis kecacatan yang
dialaminya. Titik perhatian pengembangan yang utama pada anak berkebutuhan
khusus adalah optimalisasi potensi yang
dimiliki masing masing anak melalui jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Hal
hal yangbersifat teknis berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah disesuaikan
dengan kenyataan yang ada. Kesempatan
yang sama dalam memperoleh pendidikan menuntut penyelenggara pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan mengusahakan sarana dan
prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi kecacatannya.
e. Kerjasama
(cooperative)
Pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan berhasil mengembangkan potensi mereka
manakala tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait. Beberapa pihak yang terkait
adalah orang tua, selain itu pihak yang terkait adalah dokter, psikolog,
psikhiater, pekerja social, ahli terapi okupasi, dan ahli fisioterapi,
konselor, dan tokooh masyarakat utamanya mempunyai perhatian dalam dunia
pendidikan.
Selain kelima prinsip tersebut, ada
prinsip lain yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Prinsisp-prinsip tersebut adalah (Suparno, dkk. t.t):
a)
Prinsip kasih sayang
Sebagai
manusia, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kasih sayang dan bukan belas
kasihan. Kasih sayang yang dimaksudkan merupakan wujud penghargaan bahwa
sebagai manusia mereka memiliki kebutuhan untuk diterima dalam kelompok dan
diakui bahwa mereka adalah sama seperti anak-anak yang lain. Untuk itu, guru
seharusnya mampu menggantikan kedudukan orang tua untuk memberikan perasaan
kasih sayang kepada anak. Wujud pemberian kasih sayang dapat berupa sapaan,
pemberian tugas sesuai dengan kemampuan anak, menghargai dan mengakui
keberadaan anak.
b)
Prinsip keperagaan
Anak
berkebutuhan khusus ada yang memiliki kecerdasan jauh dibawah rata-rata,
akibatnya mereka mengalami kesulitan dalam menangkap informasi, keterbatasan
daya tangkap yang konkret , mengalami kesulitan dalam menangkap hal-hal yang
abstrak. Untuk itu, guru dalam membelajarkan anak hendaknya menggunakan
alat-alat peraga yang memadai agar anak terbantu dalam menangkap pesan. Alat
peraga hendaknya disesuaikan dengan bahan, suasana , dan perkembangan anak.
c)
Keterpaduan dan
keserasian
Dalam
proses pembelajaran, ranak kognisi sering memperoleh sentuhan yang lebih
banyak, sementara ranah afeksi dan psikomotor kadang terlupakan. Akibat yang
terjadi dalam proses pembelajaran seperti ini terjadi kepincangan dan
ketidakutuhan dalam memperoleh makna dari apa yang dipelajari.
Pendidikan
berfungsi untuk membentukdan mengembangkan keutuhan kepribadian. Salah satu
bentuk keutuhan kepribadian adalah terwujudnya budi pekerti luhur. Penanaman
budi pekerti luhur pada subyek didik mustahil terwujud bila hanya dengan
penanaman aspek kognitif saja, melainkan aspek afeksi dan aspek psikomotor
juga. Untuk itu,guru seyogyanya menciptakan media yang tepat untuk
mangambangkan ketiga aspek/ranah tersebut.
d) Pengembangan
minat dan bakat
Proses
pembalajaran pada anak berkebutuhan khusus pada dasarnya mengembangkan minat
dan bakat mereka. Minat dan bakat masing-masing subyek didik berbeda, baik
dalam kuantitas maupun kualitasnya. Tugas guru dan orang tua adalah
mengembangkan minat dan bakat yang terdapat pada diri anak masing-masing. Hal
ini dilakukan karena, minat dan bakat seseorang dapat memberikan sumbangan
dalam pencapaian keberhasilan. Oleh karena itu, proses pembelajaran pada anak
berkebutuhan khusus hendaknya didasarkan pada minat dan bakat yang mereka
miliki.
e)
Kemampuan anak
Heterogenitas mewarnai
kelas-kelas pendidikan pada anak berkebutuhan khusus, akibatnya masing-masing
subjek didik peru memperoleh perhatian dan layanan yang sesuai dengan
kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud meliputi keunggulan-keunggulan apa yang
ada pada diri anak, dan juga aspek kelemahan-kelemahannya. Proses pendidikan
yangberdasar pada kemampuan anak akan lebih terarah ketimbang yang berdasar
bukan pada kemampuan anak, seperti keinginan orangtua atau tuntutan paket
kurikulum. Orangtua memang memiliki anaknya, tetapi seringkali terjadi orangtua
kurang dan tidak mengetahui kemampuan anaknya. Oleh karena itu, sebelum dan
selama proses pendidikan orangtua perlu disertakan dalam proses pendidikan
anaknya, sehingga kemampuan dan perkembangannya dapat diikutinya. Selain itu,
guru harus ammpu menterjemahkan tuntutan kurikulum terhadap heterogenitas
kemampuan masing-masing subjek didik.
f)
Model
Guru merupakan model
bagi subjek didiknya. Perilaku guru akan ditiru oleh anak didiknya. Oleh karena
itu, guru perlu merancang secermat mungkin pembelajaran agar model yang
ditampilkannya oleh guru dapat ditiru oleh anak.
Di sekolah, anak-anak
lebih percaya pada guru-gurunya daripada orangtuanya. Hal ini terjadi karena
dunia anak telah pindah dari lingkungan keluarga ke lingkungan baru, yaitu
sekolah. Kepercayaan anak terhadap orang-orang yang ada di sekolah perlu
dimanfaatkan dalam proses pendidikan. Pemanfaatan tersebut berupa pemberian
contoh atau model yang secara sadar atau tidak sadar membentuk pribadi dan
perilaku subjek didik. Karena guru menjadi pusat perhatian model anak, maka
penataan dirinya perlu didahulukan, mulai dari cara berpakaian, bertutur kata,
berdiri dikelas atau diluar kelas.
g)
Pembiasaan
Penanaman pembiasaan
pada anak normal lebih mudah bila dibarengi dengan informasi pendukungnya. Hal
ini tidak mudah bagi anak berkebutuhan khusus. Pembiasaan bagi anak
berkebutuhan khusus membutuhkan penjelasan yang lebih konkret dan
berulang-ulang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan indera yang dimiliki oleh
anak berkebutuhan khusus dan proses berpikirnya yang kadang lambat. Untuk itu,
pembiasaan pada anak berkebutuhan khusus harus dilakukan secara berulang-ulang
dan diiringi dengan contoh yang konkret.
h)
Latihan
Latihan merupakan cara
yang sering ditempuh dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Latihan
sering dilakukan bersamaan dengan pembentukan pembiasaan. Porsi latihan yang
diberikan kepada anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya. Pemahaman akan kemampuan anak dalam memberikan latihan pada diri
subjek didik akan membantu penguasaan keterampilan yang telah dirancangkan
lebih dahulu. Latihan yang diberikan tidak melebihi kemampuan anak, sehingga
anak senang melakukan kegiatan yang telah diprogramkan oleh pengelola
pendidikan.
i)
Pengulangan
Karakteristik umum anak
berkebutuhan khusus adalah mudah lupa. Oleh karena itu, pengulangan dalam
memberikan informasi perlu memperoleh perhatian tersendiri. Pengulangan
diperlukan untuk memperjelas informasi dan kegiatan yang harus dilakukan anak.
Meskipun hal ini sering menjemukan, tetapi kenyataan mereka memerlukan demi
penguasaan suatu informasi yang utuh.
j)
Penguatan
Penguatan
atau reinforcement merupakan tuntutan
untuk membentuk perilaku pada anak. Pemberian penguatan yang tepat berupa
pujian, atau penghargaan yang lain terhadap munculnya perilaku yang dikehendaki
pada anak akan membantu terbentuknya perilaku. Pujian yang diberikan padanya
akan memiliki arti tersendiri dalam pencapaian usaha keberhasilan. Secara
psikologis akan memberikan penghargaan pada diri subjek didik, bahwa dirinya
mampu berbuat. Penghargaan ini akan memberikan motivasi pada diri mereka. Bila
ini terjadi, anak akan berusaha untuk menampilkan prestasi lain.
B.
Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus
Pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus (ABK) sejak berdirinya hingga sekarang telah mengalami perjalanan yang
panjang, baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia.
Pendidikan anak berkebutuhan khusus secara umum dapat dilaksanakan di sekolah
khusus, maupun di sekolah umum/ sekolah reguler.
Di Eropa, secara khusus pertama
didirikan kira-kira sudah 200 (dua ratus) tahun yang lalu, namun baru pada abad
ke-20 terjadi perhatian yang serius dengan diakuinya hak-hak sipil para
penyandang cacat, termasuk diberlakukannya perundang-undangan yang mewajibkan
pendidikan untuk semua (Befring,2001). Sejak tahun 1970-an, di Eropa perubahan
radikal telah terjadi di bidang pendidikan luar biasa. Layanan PLB diperluas
mencakup tidak hanya sekolah khusus tetapi juga di semua sekolah umum, anak
usia pra-sekolah, remaja, sekolah menengah dan orang dewasa yang berkebutuhan
pendidikan khusus (Befring dan Tangen, 2001). Meskipun pendidikan anak
berkebutuhan khusus telah cukup lama digunakan dalam melayani anak berkebutuhan
khusus, namun baru pada abad 20 dipelajari sebagai disiplin ilmu yang mandiri.
Di Indonesia, perkembangan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan pendidikan khusus lainnya,
mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dua dasa warsa terakhir. Dengan
lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 tahun 1989 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No.20/ 2003, pendidikan luar biasa tidak saja
diselenggarakan melalui sistem persekolahan khusus (SLB), namun juga dapat
diselenggarakan secara inklusif di sekolah reguler pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
Perkembangan cakupan layanan
pendidikan luar biasa yang semakin luas tersebut, menunjukkan bahwa eksistensi
pendidikan anak berkebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Hal ini mempengaruhi tuntutan kompetensi guru pendidikan luar
biasa, yang tidak cukup hanya dengan kemampuan menjalankan tugas-tugas keguruan
tetapi juga non keguruan. Eksistensi penndidikan anak berkebutuhan khusus umum
perlu dikembangkan ke spesialis pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Perkembangan pendidikan anak
berkebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu mengalami tiga fase (1) sebagai
aplikasi teori-teori ilmu lain, terutama ilmu kedokteran dan psikologi, (2)
sebagai bagian dari pedagogik, dan (3) sebagai disiplin ilmu yang otonom
(Mulyono, 1994).
a. Pendidikan
anak berkebutuhan khusus sebagai aplikasi teori-teori ilmu yang lain
Pada mulanya pendidikan
anak berkebutuhan khusus bukan merupakan disiplin ilmu karena hanya merupakan aplikasi
dari teori-teori disiplin ilmu tertentu, terutama ilmu kedokteran dan
psikologi. Dalam bidang kesehatan banyak ditemukan gejala-gejala suatu penyakit
yang tidak dapat disembuhkan melalui penggunaan obat-obatan atau terapi medik.
Para dokter menyarankan agar digunakan terapi pendidikan (educational therapy).
Demikian juga di bidang psikologi. Para psikolog klinis dalam melaksanakan
kegiatan profesionalnya, menemukan adanya anak-anak dengan perilaku abnormal
yang sumber penyebabnya adalah kesalahan pendidikan. Para psikolog juga
menemukan adanya anak-anak yang proses mental dan perilakunya menyimpang dari
kriteria normal yang memerlukan teknik penyembuhan yang bersifat memdidik.
Teknik penyembuhan yang bersifat mendidik tersebut oleh para psikolog seperti
halnya para dokter, disebut Pendidikan anak berkebutuhan khusus.
b. Pendidikan
anak berkebutuuhan khusus sebagai bagian dari Pedagogik
Seperti diketahui bahwa
bidang telaah atau obyek ontologis ilmu pendidikan adalah situasi pendidikan
anak untuk mencapai kedewasaan. Usaha memecahkan masalah pendidikan, khususnya
pendidikan anak berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan pendidikan khusus
lain yang terpisah-pisah dalam penanganannya oleh para dokter dan psikolog, menyebabkan banyak
ilmuwan pendidikan yang merasa tidak puas. Ketidakpuasan tersebut mendorong
dimasukkannya pendidikan anak berkebutuhan khusus yang semula hanya dipandang
sebagai teknik penyyembuhan medik/ psikologik ke dalam disiplin ilmu
pendidikan.
c. Pendidikan
anak berkebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu
Seperti halnya disiplin
ilmu lainnya, ilmu Pedagogik juga telah berkembang dengan pesat. Perkembangan
yang sangat pesat tersebut disebabkan oleh adanya kecenderungan dari para
ilmuwan untuk melakukan spesialisasi telaah kajiannya agar diperoleh tingkat
analisis yang lebih tajam dan lebih seksama. Kecenderungan semacam itu juga
melanda para ilmuwan dalam bidang pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan
anak berkebutuhan pendidikan khusus lainnnya untuk menjadikan pendidikan anak
berkebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu (Mulyono, 1994)
Pendidikan anak
berkebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu dalam praktiknya memerlukan dukungan
atau penunjang ilmu-ilmu lain yang selanjutnya disebut ilmu-ilmu penunjang
pendidikan anak berkebutuhan khusus. Pendidikan anak berkebutuhan khusus
diantaranya adalah ilmu kedokteran, ilmu psikologi, ilmu pendidikan, bimbingan
dan konseling, mmaupun ilmu-ilmu sosial.
Pendidikan anak
berkebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu merupakan bidang yang kompleks karena
bersifat multidisipliner. Wilayah kajiannya atau ‘area of congruence’ sangat
jelas yaitu hambatan belajar (barrier to learning), hambatan pperkembangan
(barrier to development), dan yyang sifatnya temporer maupun permanen. ‘Area of
congruence’ disiplin ilmu pendidikan anak berkebutuhan khusus mencakup tiga
aspek meliputi : (1) interaction and communication impairment, (2) behavior and
social-emotional impairment, (3) perceptual motor impairment. Area ini dapat
terjadi pada setiap jenis anak berkebutuhan khusus, seperti tunanetra,
tunadaksa, tunagrahita, tunalaras, kesulitan belajar, anak cerdas dan berbakat
istimewa, maupun jenis kelainan yang lain.
Bidang tugas disiplin
ilmu pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan ‘area of congruence’
tersebut merupakan bidang kajian semua strata pendidikan di LPTK (S1, S2, S3)
Pendidikan Khusus, maupun jalur profesi atau spesialis Ortopedagog.
Perbedaan dari kedua
jalur tersebut terletak pada orientasinya. Jalur akademik berorientasi kepada
pengembangan keilmuan pendidikan anak bberkebutuhan khusus, sedangkan jalur
pendidikan profesi atau spesialis berorientasi kepada kecakapan dalam aplikasi
pendidikan ilmu anak berkebutuhan khusus, baik dalam settiing persekolahan
maupun non persekolahan.
Bentuk
Penyelenggaraan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Hallahan dan
Kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak bagi anak
berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu :
1.
Regular
Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
2.
Regular
Class with Consultation (Kelas biasa dengan
konsultan guru PLB)
3.
Itinerant
Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
4.
Resource
Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan
guru biasa, naun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan
guru sumber)
5.
Pusat
Diagnostik-Prescriptif
6.
Hospital
or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah
atau di rumah sakit, yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk kesekolah
biasa)
7.
Self-contained
Class (Kelas khusus disekolah biasa bersama
guru PLB)
8.
Special
Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
9.
Residential
School (Sekolah luar biasa berasrama)
Bentuk penyelenggaraan pendidikan
menurut Hallahan dan Kauffman (1991) tersebut menunjukkan bahwa anak berkebutuhan
khusus dapat dididik dimana saja, disekolah, dirumah, ataupun dirumah sakit
selama memungkinkan. Pilihannya anak berkebutuhan khusus dapat dididik ditempat
yang hampir tidak ada campur tangan Guru PLB sama sekali dikelas reguler sampai
dengan pelayanan pendidikan disekolah khusus, seperti SLB untuk tunarungu, SLB
untuk tunagrahita, SLB untuk tunadaksa, dsb.
Bentuk-bentuk layanan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 3 besar, yaitu ;
1.
Pendidikan Segregasi
Sistem layanan
pendidikan segregasi adalah pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan
anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi
meksudnya adalah penyelenggaran pendidikan yang dilakasanakan secara khusus,
dan terpisah dari penyelenggarakan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata
lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga
pendidikan khusus untuk anak berkebutukhan khusus. Seperti SDlB, SMPLB, SMALB.
Sistem pendidikan
segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanakan,
sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keraguan terhadap
kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal.
Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus
memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan
kebutuhan khusus mereka.
Ada
empat bentuk penyelenggarakan pendidikan
dengan sistem segregasi, yaitu :
a. Sekolah
Luar Biasa (SLB)
Bentuk
Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB
merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggarakan sekolah mulai dari
tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu
unit sekolah dengan satu kepala sekolah. SLB berkembang sesuai dengan kelainan
yang ada(satu kelaianan saja), sehingga ada SLB untuk Tunanetra(SLB-A), SLB
untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), SLB untuk tunalaras (SLB-E).
Di SLB tesebut ada tingkat persiapan,tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistam individualisasi.
b. Sekolah
Luar Biasa Ber-asrama
Sekolah
Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang di lengkapi
dengan fasilitas asrama. Peserta Didik SLB berasrama tinggal bersama.
Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehinggan
di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta
unit asrama.bentuk satuan pendidikannyapun sama dengan SLB diatas, sehinggan
aapda SLB-A,B,C,D,dan E.
Pada
SLB berasram, terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang disekolah
dengan yang di asrama, sehinggan asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak
di sekolah. Selain itu SLB asrama merupakan pilihan sekolah yang sasuai bagi
peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas
antar jemput.
c. Kelas
Jauh/Kelas Kunjung
Kelas
Jauh /Kelas Kunjung adalah lembaga yang
disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang
tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggarakan kelas ini merupakan
kebijaksnaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar sertapemerataan
kesempatan belajar.
Dalam
penyelenggarakan kelas jauh/kelas kunjung ini menjadi tanggung jawab SLB
terdekat. Tenaga guru yang bertugas di klas tersebut berasal dari guru SLB-SLB
di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher).
Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat.
d. Sekolah
Dasar Luar Biasa
Dalam
rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah
mulai Pelita II enyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB
merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam
satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan
tunadaksa.
Selain
tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapi tenaga ahli yang berkaitan dengan
kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapi,
psikolog, speech therapis, audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan
penjaga sekolah.
Kegiatan
belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan
ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendidikan
individualisasi. Selain kegiatan pembejaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB
juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak
tunanetra memperoleh latihan menulis dam membaca braille dan orientasi
mobilitas, anak tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total,
bina persepsi bunyi dan irama, anak tunagrahita memperoleh layanan mengurus
diri sendiri dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisiotherapi dan latihan
koordinasi motorik.
2.
Pendidikan Terpadu /
Integrasi /Inklusi
Bentuk layanan
pendidikan terpadu/integrasi/inklusi adalah sistem pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan
anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistam
integrasianak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam
satu atap.
Pada sistem keterpaduan
secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas
maksimal 10% dari jumlah keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada
satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu
berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu
kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, si sekolah terpadu di
sediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan
bagi guru kelas,kepala sekoah, ata anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain
itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru
kelas pada kelas khusus.
Ada
tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah :
1. Bentuk
Kelas Biasa
Dalam
bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar dikelas biasa secara
penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga
disebut keterpaduan penuh.
Dalam
keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi
kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan
khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat
mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan
khusus.
2. Kelas
Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada
keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan
menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata
pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus
bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang
bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan
pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Misalnya untuk anak
tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan
orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini seing disebut juga
keterpaduan sebagian.
3. Bentuk
Kelas Khusus
Dalam
keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan
kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang
melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga
keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada
tingkat ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di
kelas khusus. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial,
artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat
non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu
jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.